IA bernama Wilis. Gadis cendayam berambut gelombang dan bermata nyala bulan. Barang siapa yang melihatnya, pastilah bakal gila. Mula-mula, kedua mata mereka lepas seketika karena terlalu lama terbelalak. Alis mereka menjungkit membentuk sabit. Dan, mulut mereka bakal menganga menyerupai gua. Setelahnya, mereka mendadak gila, saking terpesonanya oleh perempuan yang mencuri mata tiap orang itu. Tak terkecuali Liman.
Liman. Begitulah orang-orang memanggilnya. Seorang lelaki yang saban hari duduk termangu di warkop Sutari, menunggu Wilis melewati jalan kecil di sekitar Klegen. Dan, bila Liman mendapati gadis itu tiba, waktu seolah berhenti sejenak. Sepasang matanya tak pernah lepas memandang Wilis, kendati jantungnya berdenyut tak keruan.
“Lihat, Wilis datang. Sebentar lagi dia melewati kita.” Begitulah celetuk para lelaki ketika derap langkah terdengar dan bau parfum tercium.
Kedatangan Wilis nyatanya menimbulkan keributan. Lirikan mata dan saling sahut siulan menjelma lonceng, pertanda bahwa gadis itu telah datang. Dan, setelah Wilis berlalu, para lelaki di warkop Sutari bakal adu mulut. Mereka saling mengeklaim bahwa bidadari Kaji Moekijat itu melirik ke arah salah satu dari mereka. Tak jarang sebagian dari mereka menepuk pundak, melemparkan umpatan, dan bahkan menendang satu sama lain. Hanya Liman yang berdiam diri, menghayati surga telah jatuh ke bumi.
Tentu saja Wilis merasa terganggu oleh ulah para lelaki itu. Kali kedua ia melewati warkop Sutari, gadis itu berlalu dengan cepat. Batang kakinya yang anggun berderap setengah berlari. Dan, karena itu, ia tak pernah melihat Liman.
“Sungguh betapa bahagianya diriku bila suatu saat, Wilis menatap ke arahku. Ohh, seandainya saja aku menjabat tangannya, lalu menyebut nama, kuduga hari-hariku bakal mekar seumpama mawar,” gumam Liman pada suatu waktu.
Harapan yang tak kunjung terwujud membuat Liman dilanda gelisah. Tiap malam ia tak dapat tidur nyenyak. Selalu saja Wilis berlarian dalam batok kepalanya. Kadang-kadang ia menggigau, menyebut nama putri Kaji Moekijat itu berulang kali. Pernah pula tangan Liman memeluk guling, membayangkan sedang mendekap Wilis. Dan, sesekali, tangannya meremas-remas. Menghayal sedang memetik buah ranum milik gadis idamannya itu.
Sebenarnya, Liman mengenal Wilis, kendati pun gadis itu tak pernah mengetahuinya. Perkenalan Liman dengan putri Kaji Moekijat itu sungguh di luar nalar. Sebab, ia mengaku mengenal Wilis melalui mimpi. Tentu saja, kawan-kawannya, para lelaki yang saban waktu bercokol di warkop Sutari itu, tak pernah sekalipun memercayainya. Siapa yang tahu soal mimpi? Siapa pula yang sudi memercayai bunga tidur itu?
“Dia menoleh ke arahku. Tidakkah kaumelihat? Dia benar-benar memanggil namaku. Dia menjabat tanganku dan mengungkapkan bahwa namanya Wilis, putri Kaji Moekijat, pemilik tambak lele itu,” aku Liman, pada suatu pagi yang sejuk.
“Kau gila, kau benar-benar sudah tak waras!”
“Aku waras. Dan, berani bertaruh bahwa Wilis mengenalku.”
“Sekalipun dia tak pernah melirikmu. Lalu, bagaimana putri Kaji Moekijat itu dapat mengenalmu—dasar sinting!” sahut salah seorang kawan Liman.
“Aku mengenalnya melalui mimpi,” tegas Liman, meyakinkan para lelaki yang saban waktu bercokol di warkop Sutari, samping pasar itu. “Wilis menjabat tanganku ketika kalian tidak berada di sini. Nyatanya dia takut dengan kalian dan tatkala kalian tidak duduk di warkop ini, Wilis berbicara padaku. Dia begitu fasih menyebut namaku!”
Tercatat sejak saat itulah, Liman mulai dijauhi oleh kawan-kawannya. Mereka telah menganggap bahwa Liman sudah gila. Betapa lelaki pengangguran itu tak dapat menahan gejolak kasmarannya. Acap kali Wilis datang, Liman tak pernah ikut bersiul dan bersorak, menyambut kedatangan gadis cendayam itu. Kerap kali ia hanya duduk termangu di pojokan, memandang gadis idamannya berlalu beserta rasa penyesalan yang membelenggunya.
Sejatinya, Liman dan kawan-kawannya hanya memiliki harapan sebesar biji kurma untuk memiliki Wilis. Kaji Moekijat, si juragan tambak lele, mematok syarat-syarat khusus bagi siapapun yang hendak melamar putrinya. Usut punya usut, Wilis hanya boleh dinikahi oleh lelaki berduit. Lelaki yang memiliki penghasilan tetap, sepetak tanah dan rumah, serta sejibun hal lain agar asap dapur tetaplah mengepul.
Cukup banyak lelaki yang melamar Wilis. Mereka datang, mengetuk daun pintu Kaji Moekijat, beserta harapan sebesar gunung. Dan, cukup sering pula belasan lelaki itu pulang menadahkan air mata. Membawa kesedihan dan kekecewaan yang meriap-riap.
“Kaji Moekijat menolakku. Padahal, Wilis tadi sempat melirikku. Matanya mengerjap, memberi isyarat cinta. Sungguh, betapa kejam bapaknya. Dia mengusirku serupa mengusir anjing, setelah mencecarku dengan seribu pertanyaan. Kaji Moekijat menanyaiku ini-itu. Menanyai pekerjaanku, menanyai apa saja yang kupunya, dan dia juga membandingkanku dengan konglomerat,” ungkap seorang lelaki yang melamar Wilis.
Dan, karena mengetahui hal itulah, Liman tertunduk lesu. Saban kali, ia hanya dapat duduk termenung di warkop Sutari. Menunggu gadis cendayam, pemilik rambut gelombang dan mata nyala bulan itu datang, melewatinya bersamaan dengan gerak langkahnya yang anggun, lekuk tubuhnya yang membuat tiap lelaki jadi gila. Dan, berharap, suatu saat nanti Wilis menoleh, lalu memanggil sebaris namanya. ***
Madiun, Okt. 2019
Karya : Hendy Pratama
Penulis lahir dan tinggal di Madiun. Heliofilia adalah buku kumpulan cerpennya yang akan terbit.