Perahu nelayan pukul tiga pagi
Menarik kembali ujung jala yang koyak
Burung laut hitam mengirim suara kegelisahan
Sepanjang dadamu
Memanggil dadaku karam kepadamu
Adakah kau dengar seorang bocah menangis
Menggendong boneka robek
Berjalan di pasir kerang – memandang kepergian
Atau kepulangan
Yang tak bisa dicegah
Lumpur dan bau ikan mengeras di pundaknya
Kutarikan firasat buruk perempuan di kakinya
Kerang-kerang putih menanggalkan kelopak
Seperti mawar menanggalkan kelopak
Di akhir musim
Seperti kidung, di pusarnya tuhan menulis hayat
Mengekalkan yang telah dan hadir kembali
Tentang kota baru dalam mimpi seekor siput yang putus asa
Berabad-abad menyeret dunia di punggungnya
Engkaulah laut, aku hanya kapal-kapal hantu
Kau bernama seperti patok-patok tanah pantai
Tangan angin memegangmu erat dan memilikimu
Adakah kau menamainya juga: bayangan
Yang mengiringi bayanganmu ke sisi bulan
Di puncak musim yang renggang
Menjaga waktu di mercusuar
Ingin sekali aku menjelma ranting pohon yang terdampar
Oleh ombak yang kacau dan tak peduli
Mengikuti cahaya matahari penuh harapan
Menanamkan anak-anaknya ke bumi
Seperti benih ke tanah
Seperti mani senggama
Dua puluh empat perahu menyebar
Dua puluh empat malaikat mengayuh papan panjang
–
Namun setiap pagi di sebuah kampung asap
Aku melukis dua belas perempuan
Menjatuhkan tirai bayangan di kamar – seperti mata
Meneteskan garam ke air laut
Lalu pulau-pulau pecah menyaksikan kata-kataku
Angin, akankah mendatangkanmu kembali
Lalu burung-burung menyambutku dengan iman yang penuh
Seolah tanganmu likat menyibak rimba basah
Yang menerima mayat-mayat pelayaran buangan ini
Dan menyimpannya seperti memeluk kekasih
2018-2020
Rembulan Terbakar
kemarau, penyairku, seperti matahari, berarak dari timur ke barat, tubuhku orang tropis tengadah ke langit, malam-malam leleh, segala hidup melarung di segala air yang kehijauan dan tak bergerak, namun telah kupanjatkan api dari dadaku ke dadamu, memimpin di ujung mata panah, seperti musim membelah barisan angin, dengarlah udara yang tersayat-sayat, tentara waktu yang kalah dan bermandikan luka tangan-tangan patah, ke hatimu kegelapan meradang, berperisai rembulan terbakar
2018-2020
Perahu Jauh
pasir dingin, kausimpan di dada, tujuh musim terang tujuh musim gelap, kaulayari laut ke langit jiwanya, perahu mendaki angin, mendaki antara, pulau dulu pulau nanti, pulau putih dalam mimpi orang mati, pantai-pantai langit biru, ombak-ombak awan, daun bintang menjari melambai jauh, ke perahumu, bulan separuh
2018-2020
Seekor Anjing
seekor anjing hitam berkaca pada wajahku, angin paling sedih seperti suara perempuan di sebuah mimpi tengah laut payau yang mengeluarkan asap biru, dunia dari cakrawala lain, mulutku dipenuhi lebah, tak bisa bertanya dan menjawab matanya menyatui kematian
pikiranku menumbuhkan pohon-pohon membentuk barisan lingkar hijau yang menjerat bala semut yang pernah menelusuri kulitmu, hutan-tuhan terpanggil menyahutku, mungkin terbaca seperti pernah kubaca tengkukmu: tanah paling kering, tubuh terkremasi yang abunya babak belur dalam hujan putih dendam yang penasaran
aku sujud seperti anjing sujud tapi liurnya menjelma kabut bergerak ke hampa gema, melobangi telinga dengan karat dan laut, dan suara kelelawar kecil menetas dari kutukan batang ingatanku, bermigrasi ke salah satu kamar menjatuhi punggungku dengan doa dan kegelapan
kegelapan yang menjadi sarang kutu rambut mayat-mayat perempuan yang dikhianati, “bukankah kau daging segar yang selalu lolos dari perburuan dan ingatanku,” bukankah telah hitam seluruh ingatanku?
tapi hanya tembok merah yang mendengar erangan itu, kelegaan seperti tuhan bersatu denganku, sungai-sungai kuning masuki jalanan darahku seperti terasa dirimu di pusat diriku, aku berubah dengan rumput-rumput gelap menjejali pori-pori, malam hariku adalah perkelahian, tak ada yang lain bergabung kata-kata membentuk kau yang baru
Surabaya, 2016
De Grote Postweg
: affan
di akhir puisimu, selembar peta jawa tergelar di kepalaku, kota-kota garam merapat ke laut, kapal-kapal dagang, menurunkan berkarung-karung masa depan, dan kita – punggung kita- kuli yang kurus-hitam dalam sejarah kesedihan ini, memanggulnya ke batas lembah, di akhir hari itu, hatimu berbunyi dalam surat kaleng, menolak seluruh alamat, aku bayangkan jalan itu menggambar titik-titik hitam baru, merunut arah matahari terbit, di sawah yang mana, ladang yang mana, pengampunan yang mana, esok bayangan kita boleh terjatuh
2019
Karya : Nanda Alifya Rahmah
Lahir di Surabaya, 1994. Menulis puisi, esai dan cerpen. Menyelesaikan studi Sastra Indonesia di Universitas Airlangga, berkesenian di Teater Gapus Surabaya, FS3LP, Komunitas Timur Lawu, dan No-Exit Theatre. Sejak tahun 2018, bersama para penulis muda Surabaya mengelola forum Majelis Sastra Urban. Buku puisi terbarunya Yang Tersisa dari Amuk Api (2020).