Beriak, berteriak aku
Bersama ombak di dermaga Perak.
Berlayar ribuan mil, pikiran ini
Menyandera dera.
Deburan gelak laksa samudera,
menyambuti camar-camar yang mengudara
Di selat,
Kapal-kapal berkarat tak bertekad
Di tanjung,
Buih-buih sedih menggantung bingung
Di teluk,
Pasir-pasir dibujuk, ditakluk
Beginilah dermagaku,
Ramai dan terbengkalai
Pasang Surut
Siluet terpekur,
memandangi alga-alga yang berdansa
Awan serupa sotong
Dengan langit tak ubahnya tinta.
Bayang-bayang mengambang, berpikir
Menilai asin garam pesisir
Banyak perompak datang
Di hari pasang dan surut
Menjejalkan janji-janji, menipu kami
Membuat jala-jala tak lagi merdeka
Petrikor
Hujan, jantungku kupasung
Derai, raib berbilang langkah
Gabas dalam dekak-dekak
Tilam mantra tragedi
Kuhirup dalam hujan
Menguap pasi
Buaian rapsodi, bergelenyar ringan
Buku-buku tanah hitam, mengembang.
Butir pasir berdesir getir
Berbalas sandi
Berikrar arah hujan
Tabula rasa sayup berlutut
Membawa aroma maut
Panj-panji jiwa di langit trubus
Mengujari riak kenagan
Horison
Nyiur berdendang menatap para terucak,
yang berdiri tegak
Mimpi-mimpi pasir pun melembut,
seiring malam
Apa yang terngiang pada tebing karang?
Dinginnya fajar?
Siang yang terik?
Senja hendak ke petang?
Tegur sapa dari cuaca?
Atau ombak yang memeluknya setiap saat?
Lebih dari itu,
Kurasa, ada rindunya untuk cakrawala
Angin yang Tersesat
Bisikan dalam bakau-bakau,
tumpang tindih, bersama gunjingan para kodok,
burung bangau dan letupan lumpur
Dilontarkan penuh rahasia
Sajak-sajak daun gugur membelai tanah
Menyambut para pinus dan cemara,
menunggu berita
Sedang si pengantar entah kemana
Bila kabar tiada pernah sampai,
Akankah si angin tersesat?
Karya : Wanti
Wanti, lahir di Nganjuk, 30 Juni 1991. Anggota Bengkel Muda Surabaya. Puisinya termuat dalam antologi ‘Dan di Genggaman Ini, Mengalir Sihir’ (BMS, 2019).