Kulihat kehidupan, di tembok putih
kulihat mayat terbang ke langit pohon-
pohon, mimpi menyusuri bau abad
yang hangus, bau tahun-tahun rubuh
menyatu dengan amarah lapar.
Hasrat melepaskan diri, menggelepar
di lubang dangkal sehabis hujan debu
rumah-rumah tertimbun reruntuhan
ciuman peperangan masa silam.
Di sini, di lingkar tulang-belulang
di loteng tempat meratap seratus kucing
kusaksikan hari-hari terkungkung
amis daging masinis
dan nasib menidurkan diri di keningku
mengguratkan warisan kemiskinan
menahun, terlunta ilusi cahaya.
(Surabaya, 2020)
Gebang Kedua
Orang-orang masa silam berjalan
di atas kabel, roh putih, sepasang sayap
mengepak di pohon waru, bintang menanggalkan
ekornya di jalan, peluit meninggalkan bayang
di tugu dusta para pahlawan. Orang-orang terbang
ke ruang matahari pagi, tuhan sembunyi
dalam reruntuhan tahun besi, kini
ada yang terus bergerak di koridor bawah laut.
(Surabaya, 2020)
Gebang Ketiga
Dari Gebang ke gerbang
kura-kura hitam di bawah tilam
rongga bumi, pasukan laut di jalan
tombak dan catbang menghadap
dada kaisar. Tapi tak ada nyanyi
parang dan perang, roh waru menari
dari Gebang ke gerbang laut pasang
dalam sekejap hasrat perahu
nelayan Madura dan raja-raja
dalam bayang menara tertinggi
yang menadahkan tangan
ke bintang para sunan.
(Surabaya, 2020)
Gebang Keempat
Hangat. Malam tumbuh di kaki selat.
Khayalku tidur sejam lalu, disinari
cahaya bulan retak di bibir cerobong,
Sesudah nyanyian “An-Naum” menggema
dari jendela masjid yang insomnia
derap kuda gaib meniti telingaku
dan lembah tertusuk jarum karat
memancar tirta gelap ke muka para kuli.
Hangat. Dalam tidur yang terlambat
lamat-lamat pintu terbuka menuju plaza
yang membangkitkan 100 bangkai kera
1000 tahun mati dalam genosida.
(Surabaya, 2020)
Gebang Kelima
Gebang Putih, tangan putihnya yang dingin
menahan ekor langit.
Di kampung yang nanar
pohon-pohon berdiri nyeri
mereka nyata dan ada
di lapangan terbuka
taksi meledakkan diri pada jantung subuh.
“Tak ada hantu Komunis di sini.
Kepala yang terpenggal telah tumbuh
menjadi mercusuar tengah daratan.”
Cuaca membusuk di bubungan kelurahan
orang-orang pulang ke pagi yang lain
kedai setengah tidur, rumah-rumah bergerak
meretakkan batu di atas tiang gantungan.
Pukul tujuh pagi, suara Gebang pergi
ke tikungan jalan yang sejenak melankoli.
(Surabaya, 2020)
Karya : Kim Al Ghozali AM
Kim Al Ghozali AM, lahir di Probolinggo, 12 Desember 1991. Kini mukim di Surabaya. Selain menulis puisi, ia juga menulis prosa, dan tulisannya telah tersebar di pelbagai media cetak, media online dan buku bersama. Bukunya yang telah terbit: Api Kata (2017), Rock Alternatif di Telinga Kirimu (2020), dan Angin Pertama (2020).