beritajatim.comberitajatim.com
    Facebook Twitter Instagram
    Facebook Twitter Instagram YouTube
    beritajatim.comberitajatim.com
    UNJUK KARYA
    webutama
    • Beranda
    • Cerita Pendek
    • Puisi
    • Resensi Buku
    • Info Sastra
    • Visual
    • UKM
    • Karena Sastra untuk Semua
      • Kontak
      • Unjuk Karya
      • Web Utama
    beritajatim.comberitajatim.com
    Home»Resensi Buku»Bangkitnya Kisah yang Tak Pernah Usai
    Resensi Buku

    Bangkitnya Kisah yang Tak Pernah Usai

    By Bias Maneka15 Mei 2021
    Facebook Twitter LinkedIn Tumblr Email WhatsApp
    Judul : Dari Dalam Kubur
    Penulis : Soe Tjen Marching
    Penerbit : Marjin Kiri
    Jumlah Halaman : 508 Halaman

     

    Dari balik kubur suara Djing Fei hidup kembali. Ia menggemakan kisah mereka, sejarah mereka, para korban 65 yang berpuluh tahun dikebiri oleh rezim politik di negeri ini. Kisah mereka tak pernah terungkap, bahkan seolah segala kepahitan dan kompleksitas itu sengaja disembunyikan. Barangkali inilah hidup sesudah mati. Saat Marching kembali menggemakan kekritisannya dengan membuka kembali kisahnya sebagai seorang wanita korban peristiwa 65.

    Novel Dari Dalam Kubur terbagi menjadi 5 bab yang masing-masing menceritakan sudut pandang cerita tokoh yang berbeda. Antara lain Karla (anak perempuan Djing Fei), Mama (Djing Fei), Papa (Suami Djing Fei), Metamorfosa dan Laire. Meski ceritanya baru dibuka pada bab kedua, namun cerita Djing Fei mengambil posisi sentral dengan porsi halaman cukup besar pada novel. Kisah Djing Fei merupakan hidangan utama dari seluruh sajian novel yang dituliskan dalam 248 halaman, sementara Karla hanya mengambil porsi 188 halaman.

    Bertutur dengan menggunakan bahasa Indonesia bercampur logat khas keseharian masyarakat Tionghoa, Marching seolah ingin menggambarkan realitas yang benar-benar terjadi pada masa itu. Maka jangan terlalu mengharapkan pemakaian ejaan yang disempurnakan atau mencoba mengoreksi penggunaan kata baku saat membaca novel ini. Mungkin akan terasa kurang nyaman di awal, namun jika anda selanjutnya memilih untuk menikmati saja dan tenggelam dalam alur cerita, maka semua akan baik-baik saja. Lanjutkan saja membaca tanpa berprasangka.

    Dari Dalam Kubur membawa kita pada perspektif awal kebencian Karla pada Mama yaitu Lydia Maria alias Djing Fei. Ia begitu membenci Mama hingga suatu saat benar-benar ingin membunuhnya. Karla menyebut Mama sebagai manusia yang tak layak menjadi manusia karena kekejamannya. Mama terus menerus ingin mencelakainya bahkan tak ingin melihat Karla bahagia. Karla menduga Mama adalah jelmaan Beelzebub dan Incubus, sang penghulu setan atau iblis yang menyamar. Atau bisa jadi, Mama adalah perwujudan asli dari Ni Garwa, hantu perempuan dalam mitos setempat yang dipakai untuk menakut-nakuti anak-anak pada masa itu.

    Mama selalu mencibir, sinis dan cenderung tak pernah bersahabat dengan siapapun. Alih-alih ia justru kerapkali mengutuki keadaan dan menjauh dari kehidupan sekitarnya. Mama selalu mengambil garis tegas pada batasan Tenglang dan Huana, yaitu sebutan untuk Kaum Tionghoa dan Pribumi.

    Segala malapetaka adalah kesalahan Huana (Pribumi). Sementara di sisi lain, kesalahan para Tenglang (Tionghoa) tak pernah tampak meski dipelupuk matanya sekalipun. Dan ujung-ujungnya, perbedaan itu akan menjadi siksaan baru bagi Karla, anaknya sendiri. Mama seorang yang antisosial namun kritis sekaligus apatis. Tak pernah bisa dimengerti saat sedang emosi. Hal ini benar-benar membuat Karla jengah. Ah..Mama macam apa dia.

    Banyak kebencian sekaligus pertanyaan yang akan muncul saat membaca bab pertama. Marching seolah mencoba membangun perspektif pembaca terkait kebencian Karla pada Mama sekaligus rasa penasaran. Apa yang melatarbelakangi sikap Karla hingga ia berlaku demikian dengki. Beberapa fakta peristiwa kekerasan tahun 98 juga disebutkan pada bab ini namun hanya sebagian kecil. Karena detail peristiwa baru akan dikisahkan tuntas pada kisah Mama pada bab selanjutnya.

    Marching menuturkan kelamnya peristiwa 65 tanpa penapisan. Ia mengisahkan kekejaman yang memantik sensitifitas terutama pembaca wanita dengan sudut pandang utuh. Penyiksaan demi penyiksaan, kekerasan dalam penjara selama masa tahanan, bahkan sanksi sosial yang harus dijalani semasa hidup akibat cap “gerwani”, barangkali akan membuat pembaca miris sekaligus mahfum. Mengapa Djing Fei tumbuh menjadi pribadi yang keras, tangguh, dingin dan kejam bahkan pada dirinya sendiri, akan membuat pembaca “memaafkan” kekejamannya pada orang-orang di sekitarnya terutama Karla.

    Kehidupan dari penjara ke penjara diceritakan dengan detail yang lugas dan tuntas. Bahkan Djing Fei tak segan menuturkan dirinya sengaja membiarkan rekan satu selnya mati, demi mempertahankan jatah makanan yang lebih layak diberikan untuk binatang.

    Kekerasan, pemerkosaan, penghinaan, penyiksaan bertubi-tubi harus dijalani selama menjadi tahanan dengan sanksi moral yang kelak tak kalah kejamnya harus dihadapi. Keluar dari penjara pun bukan lantas menjamin kehidupan menjadi lebih baik bagi eks tahanan seperti Djing Fei. Hingga pernah suatu kali ia berharap kehidupan tak akan membangunkannya kembali dari sebuah tidur panjang yang bernama kematian.

    Membaca Dari Dalam Kubur seperti menggali kembali sejarah yang tertanam puluhan tahun silam. Ia terkubur dalam-dalam tanpa resolusi keadilan. Diceritakan dengan sudut pandang yang berbeda, alih-alih menggunakan perspektif wanita. Novel surealis yang mampu menggambarkan kelamnya kehidupan eks tahanan politik tahun 65. Negeri ini sesungguhnya tak pernah benar-benar memberikan angin sejuk dan ruang bagi mereka untuk menyuarakan harapan.

    Seperti yang hendak digaungkan oleh Soe Tjen Marching, sang penulis. Sebuah penindasan serta ketidakadilan pada masa itu yang tumpang tindih dengan isu identitas rasial. Kondisi itu seolah tak pernah memberi banyak pilihan bagi Djing Fei, baik sebagai wanita, ibu, istri, guru, sekaligus warga non pribumi biasa di lingkungan masyarakat. Pesan pada akhir halaman novel kepada para keluarga 65, bahwa mereka telah disatukan oleh sejarah dan genangan darah yang tertumpah adalah sebuah wujud perjuangan yang akan terus disuarakan.

    Soe Tjen Marching adalah feminis Indonesianis sekaligus komponis dan penulis yang beberapa kali menerbitkan tulisannya tentang kritik sosial secara lugas dan berani. Ia juga memenangi beberapa kompetisi penulisan maupun karya bermusik dalam ajang penghargaan internasional. Soe Tjen Marching juga ikut mendirikan sebuah sekolah di Surabaya, tempat kelahirannya, yaitu sekolah Mandala. Sekolah ini mempromosikan cara berpikir kritis dan kebhinekaan dengan menerima murid dari berbagai agama dan latar belakang kepercayaan.

    Share. Facebook Twitter LinkedIn Tumblr Email WhatsApp
    Previous ArticleKepada Sapardi
    Next Article Ironi Transaksi Kematian

    Karya Lainnya

    Satu Buku, Dua Pandangan

    24 Mei 2022

    Ironi Transaksi Kematian

    1 Juli 2021

    Mengasah Empati Berbekal Imaji

    3 Januari 2021

    Xu Sanguan dan Semangkuk Kisah Perjuangan

    15 November 2020

    Mengurai Simpul Kelam Vegetarian

    1 November 2020

    Menakar Konsep Rasa Di Jalan Nusantara

    13 Oktober 2020
    Karya Sastra Terbaru

    Rindu Mengalir di Potomac River

    24 Desember 2022

    30 September

    30 September 2022

    Separuh Hatiku dari Gang Dolly

    28 Agustus 2022

    Melawan Rindu

    23 Juli 2022

    Satu Buku, Dua Pandangan

    24 Mei 2022

    Gadis dalam Mural

    5 September 2021

    Ironi Transaksi Kematian

    1 Juli 2021

    Bangkitnya Kisah yang Tak Pernah Usai

    15 Mei 2021

    Kepada Sapardi

    25 April 2021

    Mahacinta Bhisma Amba

    25 April 2021
    Facebook Twitter Instagram YouTube
    • Beranda
    • Tentang Kami
    • Unjuk Karya
    • Arsip
    © 2023 Sastra Beritajatim.com | sastra untuk semua .

    Type above and press Enter to search. Press Esc to cancel.