Judul | : | Kisah Seorang Pedagang Darah (Chronicle Of Blood Merchant) |
Penulis | : | Yu Hua |
Penerbit | : | Gramedia Pustaka Utama |
Penerjemah | : | Agustinus Wibowo |
Jumlah Halaman | : | 282 Halaman |
Suatu hari Xu Yulan berang. Ia mendapati suaminya, Xu Sanguan, pulang ke rumah dan bercerita jika ia telah menjual darahnya dua mangkok di rumah sakit. Dua mangkok darah seharga tiga puluh lima yuan. Harga yang tidak sebanding dengan harga leluhur mereka. Menurut Xu Yulan, menjual darah sama dengan menjual leluhur. Sebuah kecerobohan yang tidak bisa diampuni.
Padahal Xu Sanguan hanya berlogika sederhana. Ia menjual darah demi menutupi kebutuhan keluarga yang nyaris kekurangan setiap hari. Dimasa revolusi kebudayaan atau sekitar tahun 1958, kemiskinan kian menyesakkan. Harga-harga melejit. Pemutusan hubungan kerja terjadi dimana-mana. Pabrik-pabrik tutup karena merugi, begitu juga dengan pabrik sutra tempat Xu Sanguan bekerja. Hal ini memicu terjadinya bencana kelaparan di China. Xu Sanguan tertatih-tatih menghidupi kelima anggota keluarga yang nyaris tak bisa makan setiap harinya. Diceritakan, mereka bahkan harus makan bubur jagung selama 57 hari, dan seringkali berangkat tidur di malam hari dengan kondisi perut kosong dan kelaparan.
Deretan kisah bertahan hidup dan bagaimana mereka mengatasi penderitaan, akan menyentuh untuk diikuti. Kemiskinan memang tak pernah memberikan pilihan pada Xu Sanguan dan anak istrinya. Namun cara mereka bertahan dalam keterbatasan, seolah-olah jadi dua sisi mata uang yang menarik untuk dimunculkan bergantian. Satu sisi mengisahkan kepedihan, sementara sisi lain menawarkan kejenakaan.
Dilatar belakangi revolusi budaya pada masa pemerintahan Mao, dimana terjadi penangkapan terhadap beberapa orang diantaranya mereka yang dianggap berhaluan sayap kanan, para antirevolusi, kaum otoritas penempuh jalan kapitalisme, serta para tuan tanah dan petani. Mereka ditangkap tanpa diadili dan diseret ke lapangan besar kota untuk dihujat puluhan ribu orang pada gelaran Rapat Akbar. Xu Yulan termasuk salah satu yang ditangkap karena dianggap sebagai pelacur, akibat pernah diperkosa oleh He Xiaoyong sebelum ia menikah. Anak pertama mereka, Yile, diduga bukan anak kandung Xu Sanguan dan merupakan anak hasil hubungan gelap Xu Yulan dan He Xiaoyong.
Namun Xu Sanguan tak pernah putus asa menghadapi rangkaian kisah pilu hidupnya. Ia bertekad mempertahankan keutuhan keluarganya dengan tetap mencintai istri dan ketiga anaknya. Dia melakukan apapun demi keberlangsungan hidup mereka. Perjuangan mengatasi kemiskinan serta cemooh para tetangga, disajikan miris oleh penulis Yu Hua yang memang dikenal piawai dan blak-blakan memaparkan potret kehidupan sosial kelas bawah masa revolusi di China.
Gambaran kehidupan kaum marginal yang begitu detil. Penokohan dengan karakter yang kuat. Latar belakang sejarah yang dikisahkan dan disajikan ringan namun berbobot, membuat Chronicle Of A Blood Merchant (Kisah Seorang Pedagang Darah) hampir mampu menyamai kesuksesan novel Yu Hua sebelumnya yaitu To Live (Hidup). Dua-duanya telah diangkat ke layar kaca, bahkan To Live masuk sebagai pemenang Canes Film Festival dan kategori nominasi Golden Globe Award. Sementara Chronicle Of A Blood Merchant diangkat sebagai film dengan latar belakang pasca perang di negara Korea.
Yu Hua lahir 3 April 1960, sehingga ia akrab dengan kenangan masa kecil seputar peristiwa revolusi budaya. Tiga novelnya yang mengisahkan latar belakang sama, yaitu Brothers, To Live dan Chronicle Of A Blood Merchant. Ketiganya ditulis dengan narasi lugas dan obyektif bahkan acapkali menggambarkan kekerasan yang brutal. Selain itu Yu Hua juga cerdas mewujudkan dinamika karakter pada masing-masing tokoh, yang mungkin akan memunculkan emosi beragam pada pembaca. Membaca karya Yu Hua, pembaca seolah diajak untuk marah, geram, dendam, terharu, iba, sekaligus tertawa pada saat yang bersamaan.
Sebagai pembaca, bauran emosi antara haru, sedih, sekaligus senang, cukup kentara saya rasakan saat menikmati bab 19. Dimana saat itu keluarga Xu Sanguan tengah berkumpul melawan rasa lapar karena tidak ada makan malam yang dihidangkan. Mereka lantas berimajinasi bisa menikmati makanan kegemaran masing-masing dan kemudian saling menertawakan satu sama lain.
Atau pada bab 25 dimana Xu Sanguan menggelar “Rapat Akbar” dirumahnya bersama anak-anaknya, terkait kasus Xu Yulan yang dihakimi massa sebagai pelacur. Sebuah gambaran keluarga yang “demokratis”, naif, jenaka sekaligus menyedihkan. Cara mereka menghadapi persoalan dan bagaimana mencari jalan keluar, digambarkan begitu nyata oleh penulis. Yu Hua benar-benar jeli memotret kehidupan kaum miskin kota. Dialog-dialog yang disajikan begitu lugas, alih-alih “kasar”, dan mungkin sesekali akan mengerutkan kening pembaca. Namun tentu saja, novel ini tetap layak untuk dimasukkan dalam alternatif deretan bacaan sastra terbaik.