beritajatim.comberitajatim.com
    Facebook Twitter Instagram
    Facebook Twitter Instagram YouTube
    beritajatim.comberitajatim.com
    UNJUK KARYA
    webutama
    • Beranda
    • Cerita Pendek
    • Puisi
    • Resensi Buku
    • Info Sastra
    • Visual
    • UKM
    • Karena Sastra untuk Semua
      • Kontak
      • Unjuk Karya
      • Web Utama
    beritajatim.comberitajatim.com
    Home»Puisi»Kopi dan Hujan
    Puisi

    Kopi dan Hujan

    By Thoni Mukarrom I.A.1 November 2020
    Facebook Twitter LinkedIn Tumblr Email WhatsApp

    Matahari telah lebih dulu pergi
    Ketika aku sampai di rumahmu
    Lampu kota telah nyala
    Dan warung kopi telah buka

    Aku menunggu sedikit lama
    Sambil sesekali melihat hape jadul
    Yang mulai malas menangkap sinyal
    Kamu akhirnya membalas smsku

    Aku menunggumu di warung kopi dengan penjual seksi depan pasar baru
    Ok, aku akan menyusulmu, jawabmu dengan banyak tanda seru
    Aku menunggumu sambil menikmati kopi susu
    Penjual itu melirikku, aku tertunduk malu

    Kamu datang setelah setengah jam berlalu
    Aku bayar kopi segelas dengan uang lima ribu
    Kupikir itu dua kali lebih mahal dari kopi biasa
    Mungkin kopi yang dijualnya lebih manis dari hidupnya, pikirku

    Matahari lebih dulu pergi
    Ketika aku sampai ke rumahmu
    Namun gerahnya masih terasa
    Menempel di kaos, jaket dan helmku

    Aku berbegas ke kamar mandi
    Membersihkan debu dan rindu
    Selesai mandi hujan bulan juni turun lagi
    Kali ini meneteskan kenangan
    dan membasahi bunga bugenvil di pekarangan


    Ziarah

    1
    Langkah kaki menaiki tangga
    Satu demi satu keringat meluncur seperti gerimis
    Di tengah jalan pengemis duduk menaikkan tangan
    dengan membawa gelas bekas air mineral
    Seolah memelihara keputusasaan

    Rintihan sambutan pada peziarah
    Agar tahu arah kemana harus melangkah
    Dan menolehkan wajah
    Ke pencari rupiah, dengan hanya bisa menadah

    Ada yang muda, setengah baya, tua. Ada yang cacat ada yang sehat
    Merintih kepada setiap peziarah; hidup barangkali hanya menunggumu
    Dengan wajah paling sedih sedunia membuat siapa saja kasihan
    Lalu menumpahkan uang recehan; membuang uang kecil berharap pahala besar

    2
    Di makam aku berdoa setelah gagal
    Meneteskan airmata; Tuhan, aku mohon ampun
    Karena lupa bawa recehan
    Di makam berdesakan orang
    Saling membaca tahlil dengan suara lantang
    aku masih diam duduk bersila
    Sambil sesekali melihat letak sandal
    Siapa tahu ia jalan sendiri karena terlalu lama kutinggal


    Ziarah II

    /I/
    Aku tidak langsung masuk ke makam
    Warung kopi di depannya lebih menggoda
    Aku duduk dan memesan secangkir kopi
    Sekadar menghalau kantuk yang sudah mengintip di mata

    Panas begitu terasa
    Menembus sela-sela baju yang sudah basah
    Menggumpal membentuk aroma tak bernama
    Corong yang mengeluarkan asap di belakang kuburan membuat batuk
    Ah, kota ini sudah tak mau bersahabat dengan dada

    Mataku tertuju pada tulisan di pintu gerbang: mintalah pada Allah
    Ya, hanya pada-Nya segala permintaan dialamatkan
    Agar tak menjadi persekutuan
    Namun aku malu berdoa dan meminta
    Sedang berjuta nikmat masih lupa kusyukuri
    Sedang berjuta keinginan minta dipenuhi

    Aku masih menikmati kopi hitam manis
    Sambil sesekali melirik temanku yang sedang asyik selfi
    Hidup kadang pahit, kawan
    Namun kita selalu punya cara untuk menikmati manisnya

    /II/
    Siapa yang berbaring di bawah sana
    Damai seperti tak ada masalah
    Tak butuh makan, kopi atau rokok
    Ataukah mereka sedang menikmati indahnya bidadari
    Yang dijanjikan kepada orang-orang suci
    Yang dosanya lebih ringan dari sebutir kuaci

    Aku berdiri, melangkah masuk melewati gerbang
    Menuju ke makam panjang
    Siapakah yang terbaring di bawah sana?

    Asap semakin membuat sesak, udara panas
    Dan angin tak mampu meredam
    Keringatku menggumpal menjadi hujan
    Yang turun dari kedua mata
    Hingga membasahi seluruh raga


    Senja di Pelabuhan Gresik

    -Suatu hari ketika bulan terlihat kembung-

    Aku akan tetap menunggumu
    Di pinggir pelabuhan ini
    Menunggumu sambil memandang para kuli menaikturunkan barang
    Para nelayan yang menyandarkan perahu
    Kapal barang yang akan berlayar
    Dan sampah-sampah berserakan di air hitam

    Kau tak tahu bagaimana menahan rindu yang semakin erat
    Memeluk seperti tali kapal pada pelabuhan saat bersandar

    Rindu telah menumpuk
    Membukit
    Sakit

    Kau tak tahu bagaimana rasanya menanggung rindu
    Yang tak kunjung temu
    Yang semakin semu
    Yang semakin ragu

    Angin bercampur aroma asin
    Senja yang tak lagi bewarna indah
    Sebab asap mengahalangnya

    Aku duduk sambil memandang para kuli angkut
    Yang pulang dengan membawa sisa debu dan oli di tubuh

    Kustater sepeda motor
    Sebab malam akan jatuh
    Dan pecah menyebarkan tinta hitam
    Aku takut kau tak melihatku

    Bulan tenggelam di ujung laut
    Tubuhnya terlihat kembung
    Lampu kota menyala
    Namun kamu tak juga ada


    Mengunjungi Kotamu

    Sesekali kulirik jam tangan
    Yang masih menyimpan kenangan
    Beberapa detik lalu
    Saat kau masih rindu
    Pada aku yang sudah kau jadikan masa lalu

    Aku kembali ke kotamu
    Yang masih setia mengirimkan
    Asap membumbung dari corong pabrik di tengah kota,
    Yang membuatku batuk dan menutup mata

    Kuingat ke mana arah jalan sampai ke rumahmu
    Yang rumit di antara gang sempit
    Yang tergencet industri
    Yang tak ramah dan suka marah

    Beberapa kali kutersesat
    Pada jalan itu-itu saja
    Seharusnya kubelok kanan
    Namun entah kenapa sepeda motor
    Ingin belok ke kiri
    Ke kanan ke kiri lagi
    Hingga aku menemukan kenangan
    Yang sudah mulai membusuk
    Di sudut gang dekat tempat sampah


    Aku Berlari Sendiri

    Kutemui kau malam itu
    Dengan sedikit cerita
    Dengan sedikit kabar derita
    Aku menatap matamu yang mulai basah
    Kau begitu resah
    Entah kenapa, pucat wajahmu
    Dingin kulitmu, gelombang rambutmu
    Dan segala bau yang keluar dari tubuhmu
    Seolah muncul dari ribuan keringat lelaki
    Yang datang setiap malam
    Termasuk aku

    Aku ingin mengajakmu lari menembus malam
    Seperti serigala berburu mangsa
    Hingga ke sebuah bukit
    Di mana rembulan tampak lebih besar
    Dan kita mengaum bersama
    Merayakan apa yang perlu dirayakan

    Sebelum kulanjutkan cerita kau lebih dulu menangis
    Meski tanpa suara dan airmata
    Aku lihat wajahmu lebih pucat dari mayat
    Namun aku tegar dan menatapnya lebih dalam
    Aku berlari sendiri
    Menembus malam
    Melupakanmu
    Membakar bayangmu dengan asap rokok

    Aku terus berlari
    Seperti serigala berburu mangsa
    Terus berlari
    Tanpa tujuan
    Tanpa harapan

    Karya : Thoni Mukarrom I.A.

    Penulis lahir pada 15 Agustus di Tuban, Jawa Timur. Beberapa tulisanya sempat diumumkan media lokal dan nasional (Akbar, Surabaya Post, Jawa Pos, Radar Bojonegoro, Warta Tuban, Sumut Pos, Bali Post, Majalah Sagang, Buletin Jejak, dll), beberapa antologi; antologi penyair bulan purnama Mojokerto (2010), Sehelai Waktu (2011), Bulan Kebabian (2011), puisi untuk kota padangku tercinta (2011), antologi pelajar Mimpi Kecil (2011), antologi puisi untuk Palestina (2011). Cerpen Your Chemical Romance (Diva Press 2011), Antologi puisi dan cerpen lembaga Bhineka (2012), Kumpulan Cerpen tunggalnya Kisah Seekor Kupu-kupu (Shell-jagat tempurung 2012), dan lain-lain.

    Share. Facebook Twitter LinkedIn Tumblr Email WhatsApp
    Previous ArticleMengurai Simpul Kelam Vegetarian
    Next Article Aku Memanggilnya Ayah

    Karya Lainnya

    DINoSAUrUS KiTa

    20 Agustus 2023

    Kepada Sapardi

    25 April 2021

    Para Wajah Pribumi

    28 Maret 2021

    Aku Tak Pernah Bermimpi Menjadi Zonasi

    14 Maret 2021

    Sebuah Ilham Tentang Pelangi di Daun Pisang

    7 Maret 2021

    Ranjangku Digerogoti Takdir

    28 Februari 2021
    Karya Sastra Terbaru

    DINoSAUrUS KiTa

    20 Agustus 2023

    Merah Putih di Rumah Tua

    20 Agustus 2023

    Hadiah Pencuri di Peron 12

    30 Juni 2023

    Rindu Mengalir di Potomac River

    24 Desember 2022

    30 September

    30 September 2022

    Separuh Hatiku dari Gang Dolly

    28 Agustus 2022

    Melawan Rindu

    23 Juli 2022

    Satu Buku, Dua Pandangan

    24 Mei 2022

    Gadis dalam Mural

    5 September 2021

    Ironi Transaksi Kematian

    1 Juli 2021
    Facebook Twitter Instagram YouTube
    • Beranda
    • Tentang Kami
    • Unjuk Karya
    • Arsip
    © 2023 Sastra Beritajatim.com | sastra untuk semua .

    Type above and press Enter to search. Press Esc to cancel.