Judul | : Anatomi Rasa |
Penulis | : Ayu Utami |
Penerbit | : Kepustakaan Populer Gramedia |
Jumlah Halaman | : 277 Halaman |
Pernah membaca jalinan kisah trilogi Bilangan Fu? Jika jawabannya ya, maka anda pasti mengenal sosok Parang Jati. Namun kali ini Ayu Utami tak menceritakan kisah petualangan Jati dan Marja, melainkan mengudar konsep rasa dan membedahnya dalam teori ilmiah-rasional sekaligus magis-spiritual dari sudut pandang Parang Jati. Dalam buku ini, seolah Parang Jati mencoba meyakinkan Marja (dan mungkin teman-teman Marja) bahwa manusia bisa bersikap spiritual tanpa kehilangan nalar kritis, atau bersikap spiritual tanpa harus religius. Dengan kata lain, kali ini Parang Jati ingin mempersembahkan tulisannya tentang konsep rasa dalam spiritual kritis bagi kekasih platonisnya, Marja.
Terbagi dalam 3 bagian sub bab, yaitu Rasa, Religi, dan Rasio. Anatomi Rasa dibuka dengan ilustrasi gambaran kompas batin yang disarikan dari pelbagai ajaran kebatinan Nusantara. Buku ini serupa riset, bagaimana merepresentasikan spiritualisme dengan lebih praktis dan mudah, melalui konsep kosmologi kiblat papat lima pancer atau Skema Pancapat (kompas batin). Skema ini dijelaskan gamblang pada bab pertama atau Rasa. Skema Pancapat menggambarkan empat prinsip daya hidup yang membentuk bagan konsentris yang terdiri dari prinsip mengada dan meniada (tergabung dalam aspek wadah) serta prinsip keindahan dan kebenaran (tergabung dalam aspek wiji).
Konsep rasa dijabarkan melalui pendekatan alam pikir Jawa, yaitu etimologi, kesusastraan, praktik dan kesaksian. Mengapa memilih Jawa? Karena latar belakang ParangJati yang dibesarkan di sebuah padepokan spiritual di selatan Jawa Tengah. Selain itu masyarakat Jawa dianggap mampu bertahan sebagai entitas sosial-budaya-politik yang memiliki kemampuan menguasai olah rasa. Masyarakat Jawa piawai mengembangkan konsep rasa dalam tataran falsafah dan spiritual bahkan hingga saat ini. Rasa terbukti masih menjadi konsep utama dalam kosmologi spiritualitas Jawa. Masyarakat Jawa dalam sejarahnya dikenal mempunyai aspek peradaban halus, serta kemampuan mengolah perbedaaan dan konflik dengan damai dan sinkretis.
Dari sudut pandang ini, barangkali, “Parang Jati” akan dinilai subyektif. Namun kembali pada akar penulisan yang didasari pada trilogi Bilangan Fu. Sebuah jalinan kisah misteri yang dikemas apik dengan bingkai sejarah dan kisah candi-candi berlatar belakang Jawa kuno. Buku ini seolah mengedepankan sisi rasionalitas alih-alih menepikan stigma Jawa, yang kerapkali dianggap selalu menyertakan unsur mistik, klenik dan irasional.
Contoh simbolik Jawa yang sejalan dengan Skema Pancapat serta dianggap sebagai konsep atau formula yang senafas dengan DNA purba nusantara adalah Punakawan. Hal ini dijelaskan detil pada bab dua yaitu Religi. Kemunculan Punakawan merupakan pengejawantahan jiwa purba Jawa atau roh nusantara. Punakawan dinilai membawa sandi dasar bangunan alam pikir Jawa. Kwartet Semar, Bagong, Petruk dan Gareng juga dianggap sejalan dengan konsep wadah dan wiji serta bisa dibaca sebagai jalan pemurnian terhadap nafsu ideal. Parang Jati mengambil peran untuk membawa sandi purba tersebut ke masa kini dan mengekspresikannya sebagai spritualisme kritis melalui Mekanisme Rasa. Punakawan dipersepsikan Jati sebagai wujud sempurna pengejawantahan ilmu jiwa pribumi yang pas untuk diangkat ke tataran ilmiah (Psikologi Indigenus).
Dalam Skema Pancapat, terutama dalam aspek wiji, terdapat dorongan akan adanya keindahan dan kebenaran. Dalam teori Anatomi Rasa, dua hal tersebut berkesinambungan dan selanjutnya menggerakkan rasio. Jika keindahan dan kebenaran saling menguji dan memurnikan maka rasio yang terbentuk akan jernih, murni, tidak polutif. Rasio adalah lapisan maujud yang terbentuk ketika rasa menemukan obyeknya. Pada tataran ini, manusia diajak untuk bisa melampaui obyek-obyek yang membentuk alam maujud dengan cara mengolah dan memurnikan rasa. Memurnikan rasa berarti membuat empat aspek rasa dalam Skema Pancapat saling menguji satu sama lain. Kupasan Rasio ini tuntas dibahas oleh Parang Jati pada bab ketiga Anatomi Rasa.
Sebelum Anatomi Rasa, Ayu Utami telah menerbitkan beberapa buku fiksi dan nonfiksi. Diantaranya Saman (1998), Larung (2001), Parasit Lajang (2003), Bilangan Fu (2008), Pengakuan Eks Parasit Lajang (2013), dan Simple Miracles (2014). Ayu Utami melalui karyanya dinilai “berani” mendobrak kemapanan khususnya masalah seks dan agama. Ayu mampu membawa kebaruan dalam menuturkan seksualitas lewat karyanya, Saman. Dalam kacamata Ayu, seks bukan lagi hal tabu untuk dibicarakan. Ayu bahkan kerapkali mengkritisi stigmatisasi ataupun dogma yang selama ini terbentuk pada tatanan nilai masyarakat Indonesia.
Meski sedikit “berat” karena disajikan teoritis dan konseptual, Anatomi Rasa bukan bacaan yang sulit untuk dipahami. Melalui kutipan pada tiap halaman, Ayu (melalui Parang Jati) seolah mempermudah penalaran pembaca terkait substansi materi, dengan menyarikan inti bahasan. “Parang Jati” terus berupaya memperkaya struktur bahasa dan pengetahuan pembaca, dengan menghadirkan pemikiran kritis dan kebaruan tentang rasa yang dikembangkan dari khazanah spiritual nusantara.
Beberapa pilihan diksi barangkali asing atau samasekali baru bagi pembaca. Namun “Parang Jati” menyertakan pengantar dan catatan kaki yang mudah dipahami. Di akhir bab, juga disajikan 25 poin penting yang berisi rangkuman materi dari ketiga kajian yaitu Rasa, Religi dan Rasio. Sebuah kolaborasi yang cerdas antara Ayu dan Jati, yang mencoba menuturkan, mengkritisi dan menyelaraskan rasa melalui pengalaman otentik nusantara dari sudut pandang yang berbeda.