Judul | : | Untuk Bung Karno dan Taman Siswa, biografi Irna HN Hadi Soewito |
Penulis | : | Eka Budianta |
Penerbit | : | Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), 2022 |
Jumlah Halaman | : | xxxvi + 232 |
Bagi sebagian masyarakat (awam), nama Irna Hadi Soewito mungkin kurang familiar sebagai seorang Sejarawati yang pernah mengajar secara luar biasa di Universitas Indonesia. Walaupun namanya kurang berkibar, tetapi jangan diragukan kapasitas dan produktifitasnya dalam tulisan di dunia kesejarahan dan berbagai tulisan lainnya di majalah Sarinah.
Karyanya lumayan banyak dengan topik dan tema yang cukup beragam dan, karena dia mempunyai banyak bidang pekerjaan, maka tidak salah kalau karyanya tersebar di berbagai tempat dan wadah. Salah satu karya klasiknya, yang berasal dari skripsi sarjana penuhnya di Universitas Indonesia kemudian diterbitkan Balai Pustaka dan Gramedia untuk edisi kedua, adalah tentang masa pengasingan Soewardi Soerjaningrat alias Ki Hajar Dewantoro. Skripsi itu ditulis dengan renyah, enak dikunyah, tetapi punya bahan-bahan dan data-data yang lumayan langka sehingga tidak terlalu mengejutkan kalau buku itu tetap menarik walaupun umurnya sudah cukup tua.
Terbit pertamakali tahun 1985, setahun sesudah skripsinya tuntas, dan kemudian dicetak kedua kalinya tigapuluh empat tahun kemudian, 2019. Judulnya tetap sama, “Soewardi Soerjaningrat dalam Pengasingan”, Balai Pustaka dan Kepustakaan Populer Gramedia, 2019. Banyak bahan yang mungkin diabaikan penulis sejarah lain, tetapi oleh ibu Irna bahan itu justru diolah, dijadikan landasan untuk memberikan gambaran yang lebih hidup tentang sosok yang ditelitinya. Untuk menggambarkan sosok Soewardi Soerjaningrat sebagai sosok yang nakal dan humoris sedari kanak², misalnya saja, dia mengisahkan bagaimana Soewardi menuliskan sesuatu kalimat yang jahil di layang²nya. Dituliskan, “Sapa sing nemoe iki, jen Lanang dak pek sedoeloer, nek wadon dak pek bodjo”, (Siapa yang menemukan ini, kalau lelaki saya jadikan saudara, kalau perempuan akan diperistri..”. (h. 3).
Dengan bahan² dan uraian yang demikian, kelihatan kalau orang ini cukup cermat menggambarkan obyek yang ditelitinya.
Hal yang sama, yang bisa ditunjukkan adalah tiga jilid buku tentang perlawanan rakyat Jawa Timur, “Rakyat Jawa Timur Mempertahankan Kemerdekaan”, (Jakarta: Grasindo, 1994). Tiga jilid buku ini kaya sekali dengan bahan² yang langka dan berhasil menunjukkan bagaimana perlawanan rakyat Jawa Timur dalam mempertahankan proklamasi kemerdekaan.
Di situ Ibu Irna juga menunjukkan bagaimana sebagian dari desertir tentara Jepang yang lebih berpengalaman dalam pertempuran dan kemiliteran “membantu” mendukung kemerdekaan Indonesia (dengan menjadi desertir dan hidup di berbagai pelosok daerah sebagaimana kelihatan dalam daftar lampiran buku itu).
Kembali ke buku baru ini. Buku ini sendiri dimaksudkan sebagai biografi untuk sejarawati yang lumayan produktif itu. Ditulis oleh sastrawan terkemuka Indonesia, Eka Budianta, biografi ini menggambarkan dengan encer bagaimana perjalanan hidup ibu Irna yang memilih belajar sejarah, bukan Psikologi sebagaimana barisan awal antriannya di Universitas Gajah Mada pada tahun 1950-an, antara lain karena rayuan dan ajakan teman²nya yang bergerumbul di barisan Sastra, dan kemudian menekuni pilihannya itu sampai melanjutkan di jurusan yang sama di Universitas Indonesia, Jakarta, beberapa puluh tahun kemudian.
Putri priyayi Jawa kelahiran Kediri tahun 1933 ini adalah sosok yang lincah, pemberani, solider dan punya empati yang tinggi terhadap sekitarnya. Hal itu mungkin juga karena didikan keluarganya yang termasuk dalam kalangan pengikut Diponegoro serta dilatarbelakangi pendidikan di Taman Siswanya, yang begitu melekat. Apalagi itu semua didukung oleh orang tuanya. Dia memang sempat bersekolah Negeri sewaktu sekolah menengah di Kediri, tetapi kemudian lantaran ketidakcocokan kegiatannya dengan jadwal sekolahan, maka ia memilih pindah ke sekolah Swasta, Taman Siswa, di Kediri. Dari Taman Siswa inilah dia lalu melanjutkan bersekolah di Malang sampai lulus dan bermahasiswa di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
Sebetulnya, keinginan utamanya adalah belajar Arkeologi yang waktu itu hanya ada di Universitas Indonesia di Jakarta. Orangtuanya tidak setuju dia ke Jakarta, dan memintanya berkuliah di Yogjakarta sembari menemani kakaknya yang juga bersekolah di kota itu.
Pengalaman hidup sejarawan multi talenta ini memang karya warna. Sebagai gadis dengan multi talenta, cah Kediri ini mempunyai pengalaman hidup yang berwarna dam berbagai warna itu pula yang membuat kehidupan di depannya juga berwarna. Dan itu memberikan kekuatan sekaligus kelemahan bagi sejarawati ini yang bisa jadi tidak ditemukan oleh kolega² lainnya.
Dia, misalnya saja, jago menari dan juga menyanyi dan itu kemudian mengantarkannya menjadi salah satu juara bintang radio, tetapi juga kemudian menjadi aktivis mahasiswa ketika di Yogyakarta. Lantaran aktivitas kemahasiswaannya itu, maka ia terpilih menjadi salah satu mahasiswi yang menyambut Bung Karno, termasuk menari lenso dan juga menyambut ketika Ki Hajar Dewantoro ke kampus UGM. Dua orang itulah yang dikagumi Bu Irna sehingga buku ini dijuduli, “Untuk Bung Karno dan Taman Siswa”.
Sebagai biografi, ada banyak lubang yang dilewatkan dalam buku ini. Misalkan saja, bagaimana suasana, isi dan keikutsertaaannya dalam pertemuan mahasiswa sedunia di Moskwa pada tahun 1958. Apa dan bagaimananya pertemuan ini tidak diceritakan, yang dikisahkan dengan singkat malahan akibat dari keikutsertaaannya itu; dia dianggap “terlibat” dalam aktivitas CGMI.
Atau, contoh lainnya. Sebagai pengagum Bung Karno mestinya dia akan geram dan adu argumentasi panjang dengan salah satu seniornya yang ada di Majalah Sarinah, Soegiarso Soerojo, ketika orang ini menerbitkan buku “Siapa Menabur Angin, Akan Menuai Badai” (1988), yang terang²an menuding Bung Karno terlibat G30S/PKI. Hal² yang demikian ini dilewati saja dalam penulisan biografi yang encer dan enak dibaca ini.
Kalau dibandingkan dengan biografi sejarawan kondang seperti Sartono Kartodirjo dalam “Membuka Pintu Bagi Masa Depan” (2008), maka terasa bagaimana jauhnya jarak kultural biografi ini dengan biografi yang disebut di atas. Biografi ibu Irna bagaikan pengantar, dengan percikan pengalaman panjang yang dipendekkan, diringankan dan disajikan seperti bubur buat pembaca, sedangkan biografi Sartono adalah suatu hidangan utuh dengan segala pernak perniknya. Jadi tidak mengherankan kalau buku ini tidak ada daftar referensi maupun indeks sebagaimana buku² biografi yang bertendensi akademis.
Tapi, apa lacur, pengantarnya justru menunjukkan bahwa buku ini penting secara akademis lantaran merupakan biografi pertama Sejarawati Indonesia. Dengan kerangka ini tidak terlalu mengejutkan kalau pengantar buku ini sedemikian akademis dan serius, lengkap dengan taburan catatan kaki serta ,”bukti-bukti” bahwa buku ini adalah buku pertama biografi Sejarawati Indonesia, sambil dibandingkan kanan kiri, tetapi ketika masuk ke isi buku itu sendiri ternyata isinya malahan — kata orang Jawa — njekéthék; hanya begitu² saja. Enak dibaca, mudah dimengerti, tetapi tanpa kedalaman yang mungkin dibutuhkan untuk biografi yang berbobot (akademis).
Sayang juga pengantar yang berbobot akademis itu sempat keliru cukup parah ketika menyebut Almarhum Mestika Zed sebagai Sejarawan Universitas Udayana (h. xix). Padahal almarhum pengajar di Universitas Negeri Padang.
Jadi? Ada retakan tajam antara pengantar dengan isi buku itu sendiri; seakan-akan ada dua pemahaman yang berbeda (dan kadang malah bertentangan) antara pengantar dengan isi bukunya.
Lalu, bagaimana sebaiknya mengkonsumsi buku biografi ini? Masing² berdiri sendiri dengan tekanan yang berbeda sehingga mestinya pembaca menikmatinya bagian demi bagian. Tidak usah serius² menghubung hubungkan. Anggap saja mengintip status WhatsApp sahabat yang berubah-ubah setiap detik.
Arief Djati